Indonesia adalah salah satu raksasa teknologi di Asia yang sedang tertidur. Jumlah penduduk Indonesia yang mencapai 250 juta jiwa adalah pasar yang besar. Pengguna smartphone Indonesia juga bertumbuh dengan pesat. Setiap lapisan masyarakat pasti mempunyai smartphone, dari anak kecil sampai orang dewasa.
Lembaga riset digital marketing Emarketer memperkirakan pada 2018 jumlah pengguna aktif smartphone di Indonesia lebih dari 100 juta orang. Dengan jumlah sebesar itu, Indonesia akan menjadi negara dengan pengguna aktif smartphone terbesar keempat di dunia setelah Cina, India, dan Amerika.
Pengguna aktif smartphone yang lebih dari 100 juta orang di Indonesia belum mampu di penuhi secara optimal oleh produsen smartphone di dalam negeri dan memerlukan impor. Namun menurut Direktur Industri Elektronika dan Telematika Kementerian Perindustrian Ignatius Warsito di Jakarta, Senin (13/4). Perkembangan industri telepon seluler di dalam negeri turut mengurangi impor.
“Bahkan, ada beberapa pemain baru yang mau ikut serta. Dalam kurun dua tahun berjalan ini kapasitas produksi industri telepon seluler di dalam negeri sudah sekitar 20 juta unit per tahun,” kata Warsito di Jakarta, Kamis (9/4). kebijakan terkait tingkat kandungan dalam negeri (TKDN) tidak hanya melihat kepentingan pasar domestik, tetapi juga untuk mengoptimalkan penggarapan pasar tunggal ASEAN dan pasar internasional yang lebih luas. Hal itu membutuhkan dukungan pemain merek global.
Tidak bisa dipungkiri TKDN membuat kualitas luar dan dalam smartphone menjadi berkualitas. Memang ada hal buruk yang membuat beberapa vendor keluar dan kesulitan masuk ke Indonesia karena hal ini, seperti Oneplus yang hengkang karena tidak sanggup mengurusi TKDN, atau HMD Global yang selalu terlambat memasukan smartphone ke Indonesia.
Pada laman liputan6.com. Menteri Perindustrian Airlangga Hartato mengatakan sebagai negara dengan penduduk terpadat ketiga Asia, Indonesia menjadi target pasar bagi berbagai perangkat seluler. Terlebih dengan makin berkembangnya jaringan 4G LTE.
“Namun hal ini juga memicu masuknya perangkat ilegal yang justru menghambat industri dalam negeri dan merugikan konsumen,” tuturnya.
Berdasarkan data Kementerian Perindustrian, ada delapan industri telepon seluler yang merupakan penanaman modal dalam negeri (PMDN). Industri dimaksud adalah PT Hartono Istana Teknologi (Polytron) di Kudus (Jawa Tengah), PT Aries Indo Global (Evercoss) di Semarang (Jateng), PT Arga Mas Lestari (Advan) di Semarang, dan PT Tera Data Indonusa (Axioo) di Jakarta. Empat industri telepon seluler PMDN lainnya berada di Tangerang, yakni PT Maju Express Indonesia (Mito), PT Sinar Bintang Nusantara (Gosco), PT Supertone (SPC), dan PT Zhou International (Asiafone).
Adapun yang merupakan penanaman modal asing adalah PT Samsung Indonesia (Samsung) di Cikarang, PT Indonesia Oppo Electronics (Oppo) di Tangerang, dan PT Hair Electrical Appliances Indonesia (Haier) di Cikarang. Selain itu juga ada dua pemilik merek, yakni PT Huawei Tech Investment (Huawei) dengan produksi di PT Panggung Electric Citra Buana dan PT Smartfren Telecom (Smartfren).
Namun berdasarkan berita yang dimuat tempo.co, kepemilikan smartphone bukan satu-satunya syarat yang harus dipenuhi supaya perkembangan teknologi digital berlangsung cepat. DBS Group Research dalam hasil risetnya, Sink or Swim-Business Impact of Digital Technology, menyimpulkan apabila penetrasi teknologi digital sangat dalam dan penggunaannya meluas, dampak teknologi digital akan semakin dirasakan, khususnya di dunia bisnis.
Penetrasi Internet di Indonesia pada 2014, menurut Internetlivestats, berada di kisaran 17 persen. Sedangkan di India di angka 19 persen. Tingkat penetrasi Internet di Indonesia bahkan kalah jauh dibanding negara-negara Asia Tenggara, seperti Vietnam (43 persen), Filipina (39 persen), Malaysia (40 persen), dan Singapura (81 persen)
Dalam hal persentase belanja online, Indonesia juga tertinggal jauh. Survei yang dilakukan Globalwebindex pada 2014 menemukan persentase penduduk Indonesia yang melakukan pembelian secara online baru sekitar 16 persen. Angka ini sedikit lebih baik daripada India mencatat angka 14 persen. Namun Indonesia tertinggal jauh oleh Singapura yang sudah mencapai angka 46 persen.
Tapi, dengan kondisi penetrasi Internet belum dalam seperti saat ini, Indonesia sudah mulai dilirik investor yang berminat berinvestasi di industri digital. Data dari Techlist seperti dikutip dari media teknologi Techinasia menyebutkan, pada kuartal pertama 2015, di Asia Tenggara ada 93 perusahaan startup (rintisan) yang memperoleh pendanaan. Dari jumlah itu, 24 di antarannya merupakan startup Indonesia. Matahari Mall mendapat pendanaan terbesar dengan total investasi Rp 6,51 triliun.
Pada tahun-tahun sebelumnya juga ada beberapa perusahaan digital Indonesia yang mendapat investasi besar. Go-Jek umpamanya, berhasil mendapatkan pendanaan Rp 2,8 triliun dari Northstar Group. Ada juga Tokopedia yang tahun lalu mendapatkan Rp 1,4 triliun dari Softbank dan Sequoia Capital.
Indonesia mempunyai peluang untuk tumbuh sangat cepat dan besar. Kebutuhan terbesar saat ini adalah dukungan dari pemerintah supaya industri digital Indonesia bisa mengatasi ketertinggalan oleh negara lain. Penetrasi Internet harus bisa ditingkatkan dengan cepat. Tidak hanya terfokus di Jawa, tapi juga tersebar di daerah lain di Indonesia. Pemerintah juga harus membuka jalan dan memberikan berbagai insentif agar industri digital ini bisa tumbuh dan mendapat akses pendanaan.
Dibanding Singapura, Indonesia memiliki keunggulan dengan jumlah penduduk yang bisa menjadi pasar sangat besar. Namun langkah progresif sudah banyak dilakukan, sehingga Singapura kini menjelma menjadi pusat ekosistem startup di Asia. Singapura bisa masuk ke pasar-pasar besar Asia, seperti Cina, India, dan Indonesia. Juga Malaysia, Filipina, serta Thailand. Salah satu keunggulan Singapura adalah akses terhadap pendanaan yang sangat besar.
Leave a Reply